Cerita Pendek: Terima Kasih Kawan

G+


Jakarta, Dunianews.Net -- Sepeninggal Bunda cahaya hidupnya, Um nyaris kehilangan daya hidup. Beberapa waktu ia tak ke sekolah, terasa ada harapan hilang dari segala hidupnya.

Tak ada cara lain. Hidup terus berjalan. Keadaan harus dibayar dengan alat tukar uang. Mengemis itu tak boleh. Perut harus terisi dengan baik, Ayah Um tetap bekerja, buruh harian penggali tanah proyek instalasi perkabelan. Kemana pergi tergantung mandor yang di sewa majikan.

Um tak rela sesungguhnya jika dia harus berhenti sekolah, harus berhenti belajar menggesek biola temuannya milik seorang berkewarganegaraan Belanda, sesuai alamat dan nama pemiliknya tertera di kartu nama di tas biola itu. Um dan Ayahnya mencari cara segera mengembalikan biola itu pada pemiliknya,

Setelah sampai di alamat yang dituju di bilangan Kebayoran Baru, Um hanya menemukan rumah kosong. Penghuninya pulang ke negeri Belanda, demikian menurut keterangan orang-orang sekitar rumah pemilik biola itu.

Um ingat sesuatu. “Pak kita datangi kedutaan Belanda titipkan saja di sana.” Um polos saja perasaannya. “Apa bisa begitu.” Kata Bapak Um. “Ya. Harus begitu Pak, biola ini milik orang asing itu.”

Keduanya menuju Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Setelah menjelaskan dengan seksama, dari tidak percaya menjadi percaya, Bapak satpam penjaga kedutaan membukakan gerbang.

Um dan Bapaknya di pertemukan dengan bagian yang berkompeten mengurus kehilangan bagi warga negaranya. Setelah lama menunggu, setelah menjawab berbagai pertanyaan umum. Um menandatangani surat tanda terima pengembalian biola yang ditemukan di jalan oleh Bapaknya.

Mereka tampak bersalam-salaman. Ada sesuatu diberikan sebagai imbalan kepada Um dan Bapaknya, tapi keduanya menolak, dengan penjelasan yang mereka lakukan merupakan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia membantu warga negara lain.

Namun Kedutaan Besar Belanda, tetap bersikeras akan memberi penghargaan pada Um dan Bapaknya. Setelah menunggu beberapa waktu hingga selesai jamuan makan siang untuk Um dan Bapaknya dari Kedutaan Besar Belanda itu, sebuah surat penghargaan dan ucapan terima kasih di terima Um dan Bapaknya, langsung dari pejabat bersangkutan.

Waktu berjalan, Um harus kembali ke sekolah, tak perlu memikirkan apapun, sekolah akan membantu Um semampunya asalkan Um mau kembali ke sekolah, demikian janji Pak Omar ketika datang ke rumah kontrakan Um dan Bapaknya.

Semua kejadian itu seperti berurutan, tak lama setelah wafatnya Ibunda Um, dari persoalan sekolah dan pembiayaan, bersamaan dengan perasaan Um ketika itu, setelah kehilangan Bunda, hingga Ayah Um menemukan biola orang Belanda itu, saat Ayah Um tengah mengerjakan galian kabel Perusahaan Listrik Negara (PLN). Biola itu teronggok miring separuh tertutup semak taman di atas trotoar tepi jalan.

Telah berlalu tujuh tahun yang lalu. Um semakin bersemangat menghadapi pelajaran untuk kelulusan ujian akhir Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bapaknya bersyukur kini beralih profesi menjadi penjual penganan dan kopi di sepeda.

Suara pagi dari surau-surau senantiasa membangunkan kehidupan ibadah bersama Bapaknya, selanjutnya sebagaimana seperti biasanya, Um membantu keperluan jualan Bapaknya, tak lama Um menuju ke sekolah, Bapaknya mengayuh sepeda menyongsong mentari pagi.

Tujuh tahun yang lalu itu juga utusan Kedutaan Besar Belanda datang ke rumah kontrakan Um, dengan sebuah pesan surat dari pemilik biola, dihadiahkan untuk Um, dengan ucapan sederhana “Bermusiklah seperti awal kau temukan biola ini.” Um dan Bapaknya, antara haru dan bingung, keduanya tak mengerti, apa yang akan diperbuat dengan biola itu.

Tujuh Tahun yang lalu setelah Pak Omar mendengar semua kisah Um. “Um? Semoga Bapak masih mampu mengajarimu memainkan nada-nada dasar biola itu. Ayah Bapak, guru biola tempo dulu. Beliau wafat ketika sedang konser di panggung itu, dua hari setelah usai kongres pemuda pertama di Schouwburg, Gedung Kesenian Jakarta sekarang di Pasar Baru itu.”

Ada suasana surealistis sejenak, keduanya lama terdiam. “Sejak hari itu Bapak memutuskan menjadi guru, meninggalkan cita-cita menjadi pemain biola.” Ada saling memberi harapan pada remang air mata di genang mata keduanya.

Um mencium tangan Pak Omar. Keharuan keduanya membawa Um memainkan biolanya bersama Pak Omar menggemakan orkes simfoni tentang cinta, daya juang dan kasih sayang pada sesama.



Sumber : CNN Indonesia
Follow Us :

About Ambar Syahputra Siregar

    Blogger Comment
    Facebook Comment