Jakarta, Dunianews.net -
Pegawai Google di seluruh penjuru Amerika Serikat
melancarkan protes sekaligus mogok kerja pada Senin (30/1) terhadap
kebijakan anti-imigran Presiden Donald Trump. Aksi tersebut juga diikuti
oleh pimpinan dan pendiri Google.
Berdasarkan laporan TechCrunch,
ada sekitar 2.000 Googler -julukan pegawai di Google- berdemonstrasi di
sejumlah "kampus" Google. CEO Google Sundar Pichai dan salah satu
pendirinya Sergey Brin berada di antara kerumunan itu, ikut menyuarakan
perlawanan.
Baik Brin dan Pichai didaulat sebagai pembicara di
aksi protes yang berlangsung di markas Google di Mountain View,
California. Keduanya bersama para Googler saling berbagi pengalaman dan
opini mereka mengenai kebijakan anti-imigran Trump.
"Ini perdebatan tentang nilai-nilai fundamental," kata Brin di hadapan para Googler.
Salah
satu kisah mengenai isu imigran itu datang dari seorang imigran
keturunan Iran-Kanada, Soufi Esmaeilzadeh yang bekerja untuk Google
sebagai Google Assistant Product Manager.
Saat kebijakan itu mulai berlaku, Esmaeilzadeh baru sampai di Zurich,
Swiss. Tak tahu harus berbuat apa, ia mengontak Google dan akhirnya
kembali pulang ke AS setelah menyiasati status hukum kebijakan itu.
Sergey
Brin sendiri adalah seorang imigran dari Uni Soviet. Ia tiba di AS saat
berumur enam tahun dari negara yang menjadi musuh utama Amerika di era
Perang Dingin.
Brin menekankan walaupun saat itu Uni Soviet
adalah musuh negara terbesar, "namun AS tetap berani mengambil risiko
menerima saya dan keluarga sebagai pengungsi."
Sementara Sundar Pichai terus mendorong karyawannya melangsungkan demonstrasi dengan terus bersuara sebagai bentuk perjuangan.
"Kami
sudah mengutarakannya tapi saya rasa bagus untuk terus mendengar cerita
mereka dan lainnya serta perjuangan ini berlanjut," kata Pichai.
Aksi
protes Googler ini berjalan dengan inisiasi mereka sendiri. Namun
Google sebagai perusahaan turut mendukung langkah pegawai mereka.
Seperti yang diketahui, Google telah terang-terangan menolak kebijakan
anti-imigran Trump.
Demonstrasi berlangsung tidak hanya di markas pusat Google di Mountain View, namun juga di San Francisco, New York, dan Seattle.
Di
Silicon Valley, Google tak sendirian. Masih banyak perushaan teknologi
lain yang menentang keputusan Trump melarang imigran dan pengungsi dari
tujuh negara mayoritas Muslim seperti Suriah, Irak, Iran, Yaman, Sudan,
Libya, dan Somalia memasuki wilayah AS selama 90-120 hari ke depan.
Sumber : CNN Indonesia
Blogger Comment
Facebook Comment