Jakarta, Potensi stres, depresi dan gangguan kecemasan
bisa muncul pada diri seseorang ketika dihadapkan pada berbagai
tantangan dalam kehidupan. Lagipula tak semua orang memiliki kekuatan
mental yang memadai untuk menghadapinya.
Tetapi sebuah penelitian
dari AS menemukan, potensi depresi dan gangguan kecemasan pada diri
seseorang sebenarnya sudah bisa dilihat sejak baru lahir.
Memang
bukan terlihat dari fisiknya. Peneliti dari Washington University, St.
Louis mengatakan ada pola konektivitas otak tertentu pada bayi yang baru
lahir, yang dapat memperlihatkan potensi atau bahkan gejala awal dari
masalah mental tersebut.
Gejalanya antara lain kesedihan, rasa
malu yang berlebihan, gugup dan cenderung cemas. Menurut peneliti,
gejala-gejala awal ini mempunyai keterkaitan yang kuat dengan kondisi
seperti depresi klinis dan gangguan kecemasan pada remaja maupun orang
dewasa.
"Pola ini bisa mengindikasikan bahwa pada sebagian anak,
otaknya berkembang dengan pola yang dapat meningkatkan risiko masalah
mental," kata peneliti, Dr Cynthia Rogers kepada Huffington Post.
Studi
ini awalnya dilakukan untuk membuktikan apakah benar bayi yang lahir
prematur berisiko tinggi untuk mengalami masalah kejiwaan saat dewasa
kelak, dengan mengamati otak mereka. Untuk itu peneliti melakukan scan
MRI terhadap 65 bayi yang lahir sesuai waktunya dan 57 bayi prematur.
Yang
diamati peneliti utamanya adalah interaksi amygdala (pengaturan rasa
takut) dengan bagian otak lainnya. Dari situ peneliti menemukan bahwa
tidak perbedaan yang mencolok antara interaksi yang terjadi di otak bayi
prematur dan yang bukan, kendati koneksi antarbagian dalam otak bayi
prematur tidak begitu kuat.
Dua tahun kemudian, peneliti
melakukan follow-up untuk melihat ada tidaknya gejala depresi dan
kecemasan awal pada anak-anak ini.
Ternyata, koneksi yang lebih
kuat antara amygdala dan insula (juga berperan dalam pengaturan emosi)
serta medial prefrontal cortex (berperan dalam perencanaan dan pembuatan
keputusan) dikaitkan dengan tingginya kecenderungan partisipan untuk
memperlihatkan gejala awal dari depresi di usia dua tahun.
Rogers menambahkan, tetapi ini tidak serta-merta membuat seorang anak
cenderung tumbuh menjadi anak yang depresi. Sebab, paparan pengalaman
dan lingkungan mereka juga bisa mempengaruhi pola konektivitas ini.
Untuk
saat ini, peneliti berencana melakukan evaluasi sekali lagi, ketika
partisipan telah menginjak usia 9 dan 10 tahun, terutama untuk
mengetahui dampak dari pola konektivitas otak yang tidak lazim.
"Dari
situ kita mungkin bisa tahu apakah pengalaman si anak ketika di rumah
sakit atau di awal-awal usianya akan mengubah pola ini atau tidak dan
bagaimana dampaknya, sehingga kita dapat memodifikasi dampak ke
depannya," harap Rogers.
Sumber
Blogger Comment
Facebook Comment