Dunianews.net - Keberadaan
Rantauprapat sebagai ibukota Kabupaten Labuhanbatu di Sumatera Utara
sekarang ini tak bisa dilepaskan dari sejarah kehidupan para raja di
daerah itu. Bahkan, berhubungan langsung dengan kepentingan Kesultanan
Bilah ketika itu.
Tapi, tak banyak pula warga kota itu, khususnya dan
masyarakat Kabupaten Labuhanbatu pada umumnya yang mengetahui keberadaan
belasan jejeran ruko tua di kawasan Jalan Veteran dh Jalan Martinus
Lubis, Rantauprapat merupakan awal bermulanya kota Rantauprapat.
Kawasan Pintu 10, itu merupakan istilah dari sepuluh
pintu rumah toko. Lokasinya, terletak di kawasan Jalan Veteran
Rantauprapat dh Jalan Martinus Lubis, Rantauprapat. Ruko-ruko
berarsitektur tua itu memiliki histori tersendiri dalam pembentukan kota
Rantauprapat.
Pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia,
kawasan pintu 10 merupakan pusat keramaian di daerah Labuhanbatu ketika
itu. Selain pusat kerajaan Rantauprapat, bahkan kawasan itu juga sebagai
pusat perniagaan. “Ya, di sana pusat keramaian ketika dulu,” ungkap
Kariaman alias Kau Sie (87), salah seorang warga kota Rantauprapat.
Menurutnya,
khususnya ketika tahun 50-an silam, dulunya kawasan Pintu 10 diramaikan
para pengunjung yang datang dari hulu dan hilir Sungai Bilah,
Rantauprapat. Katanya, ketika itu moda prasarana transportasi yang
dominan adalah sungai. Sarana transportasi juga berupa sampan.
Bahkan,
ketika itu kondisi dasar dan kuantitas air Sungai Bilah yang dalam dan
arus deras (berbeda dengan kondisi sekarang) masih banyak dilalui kapal
tongkang. “Dulu ke Rantauprapat orang-orang pribumi dari Hulu dan Hilir
naik perahu dan kapal tongkang. Kapal-kapal tongkang dan perahu kayu
berseliweran di sepanjang Daerah Aliran Sungai Bilah,” jelasnya.
Menuju
ke Pintu 10, ada dua pintu masuk. Yakni, dari dermaga di kawasan
Paindoan dan Pekan Lama. Di sana, tempat berlabuhnya kapal-kapal dari
dan ke Pintu 10 kota Rantauprapat. Jarak tempuh dari Pintu 10 ke lokasi
dermaga hanya berkisar 400 meter. “Kalau mau berpergian dari sungai
melalui dermaga di Paindoan,” tambah Kariaman.
Di kawasan Pintu
10, merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Rantauprapat dan juga pusat
bisnis. Di sana, segala produk diperdagangkan dalam perniagaan. Sebab,
tak jauh dari Pintu 10, terdapat pusat perdagangan.
Yang
kemudian hari disebut dengan Pasar Lama, Rantauprapat. Di Pasar Lama itu
sendiri, para pedagang dan pembeli ketika itu, masih menerapkan sistem
perniagaan dengan memakai pola barter. Barang langsung ditukar dengan
barang. Pun, uang yang berlaku masih jenis tertentu dan mesti bertanda
khusus. “Atau, perdagangan menggunakan uang kertas yang berstempel,”
jelasnya.
Kata pria yang sekarang berprofesi sebagai pembuat
selai srikaya dan roti bantal di salahsatu kedai kopi terkenal di
kawasan kota Rantauprapat, pihak pedagang pribumi ketika itu mendominasi
perdagangan rempah-rempah dan sayuran. Sedangkan, pedagang Tiongkok
menjual produk-produk pabrikan. “Ya, orang-orang Cina dulu hanya menjual
makanan dan minuman kaleng,” ujarnya.
Milik Raja Rantauprapat
Kapan
kawasan itu sudah menjadi pusat keramaian. Arifin Munthe, salah seorang
keturunan raja Rantauprapat memberikan jawaban terkait pertanyaan itu.
Ketika disambangi belum lama ini di kediamannya, menjelaskan jika
kawasan itu sekitar tahun 1870-an sudah menjadi pusat pemerintahan
kerajaan Rantauprapat yang dipimpin seorang raja bernama Mangaraja Lela
Setia Muda I.
Tapi, sejak tahun 1902 sesudah raja Rantauprapat
I, mangkat dari singgasana dan digantikan oleh anaknya Raja Putoro yang
bergelar Mangaraja Lela Setia Muda II, kondisi kawasan itu pun semakin
ramai.
Terlebih lagi, ketika itu Raja juga sudah mempersunting
Tengku Maharani putri Sultan Bilah yang terdapat di hilir Sungai Bilah.
Di mana, pernikahan itu juga memiliki tujuan untuk mengakhiri perlawanan
Patuan Bolatan, salah seorang sepuh para Raja Rantauprapat yang selalu
menentang terhadap kebijakan-kebijakan Sultan Bilah.
Padahal,
ketika itu Kekuasaan Sultan Bilah merupakan perpanjangan tangan pihak
Kolonial Belanda dalam mengumpulkan pajak dari keluarga para raja dan
masyarakat.
Dalam masa kekuasaannya itulah sekira tahun 1940, Raja
Putoro, kemudian berinisiatif membangun rumah tinggi berbahan batu bata
yang permanen dan diberi nama Pintu 10,” jelas Arifin Munthe seraya
menambahkan kemudian hari jumlah ruko di sana bertambah menjadi 12. “Itu
belakangan hari bertambahnya,” tegasnya.
Kemudian pada tahun
1942, pihak kerajaan Rantauprapat memberikan hak pihak lain untuk
menyewa ruko-ruko tersebut. Tujuannya, guna menambah pendapatan pihak
kerajaan. “Ya, untuk menambah pendapatan pihak kerajaan, ruko itu
disewakan ke pihak lain,” jelasnya.
Tapi, ketika peralihan era
kekuasaan Belanda ke pihak Jepang, raja Rantauprapat itu ditawan pihak
penjajah. Tak pelak, Raja Putoro akhirnya mendekam dalam sel tahanan
milik Nippon sekitar tahun 1942 hingga 1945. “Raja Putoro ditangkap
Jepang. Penangkapannya dilakukan di Dermaga Panidoan,” tambahnya.
Bertepatan
tahun 1945 kekuasaan Jepang di perang Timur Raya hancur, kekuasaannya
juga berkurang di kawasan Kerajaan Rantauprapat. Konon lagi, Indonesia
pun memproklamirkan kemerdekaannya. Karena itu, Raja Putoro juga
menerima anugerah kemerdekaan Indonesia dengan pembebasannya dari sel
tahanan. Tapi, dampak tekanan dan penyiksaan demi penyiksaan yang
dilakukan pihak pasukan Jepang selama dalam tahanan membuat Raja Putoro
akhirnya sakit-sakitan.
Hari-hari setelah kebebasannya dari
penjara akhirnya diwarnai proses perobatannya guna membebaskannya dari
sakit yang diderita. Hal itu, cukup berpengaruh. Tak pelak, guna
membiayai perobatannya pihak kerajaan akhirnya menjual ruko pintu 10 ke
pihak lain. “Dipindahtangankan ke pihak lain untuk memenuhi biaya
perobatan, akhirnya ruko itu dijual,” imbuh Arifin. Kemudian, pada tahun
1946, Raja Putoro juga akhirnya meninggal dunia.
Mengenang nama
Raja Rantauprapat, kata Arifin Munthe, sempat salah satu nama jalan di
kawasan itu memakai nama Mangaraja Lela Setia Muda. Tapi, seiring
perkembangan jaman, keabadian nama itu pudar dampak pergantian nama
menjadi Jalan Martinus Lubis.
Sumber : MedanBisnisDaily.com
Blogger Comment
Facebook Comment